Selasa, 19 Juli 2011

Tadulako, Pahlawan Perang di Padang Sunyi

Oleh Jafar G Bua

Mengisi waktu liburan di pantai atau di pegunungan mungkin sudah biasa. Sesekali cobalah mengisi waktu liburan dengan berkunjung ke Lembah Megalit Besoa. Di sini, kita akan menyaksikan arca-arca atau patung batu unik dari zaman prasearah sambil menikmati berjalan di atas pematang sawah juga menyaksikan kerbau berkubang.
Lembah megalitik Besoa terletak sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Untuk menuju ke situs purbakala yang menyimpan cerita dari zaman prasejarah itu kita harus berjalan kaki kurang dari 1kilometer melewati persawahan dan kerbau-kerbau petani yang sedang berkubang.
Di lembah ini ratusan arca batu bisa kita temukan. Tapi, yang paling mudah dicapai adalah situs arca Tadulako. Ini adalah arca panglima perang yang tersisa dari zamannya.
Berdiri di atas sebuah bukit arca ini menghadap ke arah barat ke arah matahari terbenam. Dikisahkan oleh tetua adat setempat, Tadulako adalah panglima perang yang tersisa dari sebuah perang suku di zaman sekitar 3000 Sebelum Masehi. Ia dikutuk menjadi batu setelah dipukul kepalanya oleh seorang perempuan musuh dengan batang alu.
“Itu kisah turun-temurun yang saya ketahui sampai kini tentang Tadulako. Tidak ada yang dapat memastikan sejak kapan kisah ini muncul, tapi dari perhitungan peneliti kisah ini ada sejak ribuan tahun lalu,” tutur Munis Taro (72), tetua adat Besoa.
Di dekat arca Tadulako ini kita juga akan menemukan kalamba. Ini yang menarik sebab arca ini dulunya adalah bak mandi para putri raja. Bentuknya seperti ember besar. Hanya saja ini terbuat dari batu, bukan plastic. Untuk memastikan kebersihannya, kalamba ini mempunyai tutup yang juga terbuat dari batu alam.
Begitu yang dikisahkan Munis Taro, tetua adat yang sejak lama setia menjaga dan menceritakan warisan leluhur ini kepada para wisatawan atau peneliti yang datang berkunjung.
Jika kita mau lagi berlelah-lelah berjalan di sekitar kawasan ini ada lagi sebuah arca tidur yang di atasnya dipahatkan simbol-simbol unik. Sayang, belum ada yang mengetahui apa makna simbol berbentuk manusia dan cecak yang terpahat di atas arca.
Berkunjung ke lembah megalit ini terasa terlempar jauh ke masa lalu. Ke masa prasejarah di mana manusia belum mengenal tulisan, sambil mengagumi keindahan alam Nusantara, bersyukur pada sang Maha Kuasa dan membayangkan tingginya peradaban leluhur kita di masa lalu. Dan tentu menemani Tadulako yang sendiri di padang sunyi.
Sekarang, kita kembali dari pengembaraan ke masa silam itu. Kita masih punya tujuan menarik. Kabarnya ada banyak kuliner tradisional di kawasan ini. Salah satunya adalah Beko. Penasaran menyicipinya?

Tenun Kulit Kayu, Tradisi yang Terancam Zaman

Oleh Jafar G Bua

Tentu, orang sudah mengenal kain tenun Songket dari Palembang atau Ulos dari Sumatera Utara. Lalu adapula Buya Sabe di Donggala, Sulawesi Tengah. Tapi jika menyebut Ivo atau Vuya, tentu saja orang akan bertanya-tanya. Ini salah satu produk yang ramah lingkungan. Apa itu gerangan? Berikut kisahnya dari Donggala, Sulawesi Tengah.
Tok…Tok…Tok…Bunyi berirama itu sudah terdengar dari jauh. Artinya Desa Pandere, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah sudah dekat. Di desa inilah tradisi Ivo atau Vuya itu berkembang. Vuya atau Ivo adalah kain berbahan dasar kulit kayu Bea (Bhroussonetia sp) dan Malo (Ficus sp).
Bunyi berirama tadi adalah hentakan bahan dasar kulit kayu yang ditempa dengan Ike, alat pemukul dari batu pualam yang diikat dengan rotan. Kulit kayu yang masih kasar itu, ditempa di atas Tatua, kayu setengah lingkaran atau papan keras.
Loh, apa iya ada kain dari kulit kayu? Ya, sejak ratusan tahun lalu masyarakat asli Sulawesi Tengah mempunyai tradisi unik ini. Tradisi ini terutama berkembang di sepanjang kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Donggala dan Poso,
Ada beragam nama yang diberikan pada kain kulit kayu ini. Di Pandere dan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah, warga setempat menyebutnya Ivo dan Kumpe. Lalu di Bada, Donggala, warga menyebutnya Ranta. Lalu di Besoa, Donggala, warga menyebutnya Inodo. Namun, sebutan Vuya yang lebih populer.
Tradisi ini makin berkembang saat pendudukan Belanda dan Jepang. Marten Kungku, seorang tetua adat Kulawi mengatakan bahwa sampai 1951, ia masih menggunakan baju dan celana dari Vuya ketika bersekolah.
Vuya dapat dijadikan baju, celana, rok maupun ikat kepala atau siga. Sebelumnya juga digunakan sebagai kain kafan bagi para bangsawan dan tetua yang meninggal dunia.
Kini, tradisi ini, meski mulai tertatih-tatih bersaing dengan zaman, terus dilestarikan. Fuya kini berubah bentuk. Menjadi hiasan dinding, tas, pigura, sampul buku, juga cup lampu kamar.
Meski makin tergerus zaman, tentu saja Fuya masih dipakai menjadi perlengkapan upacara adat di sekitar Lembah Besoa, Bada dan Kulawi. Jika musim panen atau kedukaan, kita akan mudah menemukan orang tua dan gadis remaja memakai pakaian dari kulit kayu ini.
Ada beragam bentuk kain kulit kayu yang dipakai dalam upacara adat. Misalnya, Toradau (blus yang digunakan pada upacara adat penyambutan tamu terhormat). Lalu, Vuya (dipakai pada upacara penyembuhan penyakit/Balia). Ada pula Siga (digunakan sebagai destar pada semua upacara adat) dan Vini (rok yang digunakan pengantin wanita pada upacara perkawinan dan penyambutan tamu).
“Jika upacara adat, kami masih menggunakan semua perlengkapan busana dari kain kulit kayu itu. Ini adalah upaya melestarikan tradisi leluhur kami,” tutur JPH Taro, sesepuh adat Kulawi, dalam sebuah perbincangan.
Perempuan Tua Pelestari Vuya
Nah, yang menarik, di Pandere, Donggala ada dua perempuan kakak beradik yang hingga kini setia melestarikan tradisi ini. Mereka adalah Rangimpuasa (70) dan Sitilima (70).
Di siang hari, ketika warga lain tengah mengaso, kedua nenek ini dengan sebilah parang di tangan beranjak dari rumahnya untuk mencari pohon kayu bahan pembuat kain. Pohon yang dipilih adalah sejenis beringin, waru atau pohon murbei kertas yang oleh penduduk setempat disebut malo. Usianya harus sudah dua tahun. Yang diambil dari pohon ini hanyalah batang airnya saja, kira-kira 5 centimeter garis tengahnya.
Karena sudah tidak kuat lagi memotong dahan yang tinggi, keduanya biasa ditemani cucu atau anak laki-lakinya. Setiap batang air yang diambil, dipotong sepanjang empat jengkal. Itulah yang kemudian diolah menjadi kain.
“Prosesnya dimulai dari Nosisi, atau menguliti kulit kayu tadi. Kemudian Notikuli, membersihkan kulit kayu yang sudah dikuliti. Kulit arinya dibersihkan. ” Begitu kata Sitilimamenjelaskan proses pembuatan Ivo atau Vuya ini.
Setelah itu, barulah kulit kayu tadi ditumbuk dengan Ike di atas Tatua. Proses ini dinamakan Nombaovo. Lamanya kira-kira tiga jam. Biasanya dikerjakan bersama-sama oleh lebih dari dua perempuan. Jika sudah agak halus, sekarang saatnya Nompa’ atau Nonohu. Kulit kayu yang sudah ditumbuk tadi diperam dengan cara dibungkus dengan daun Mengkudu agar menjadi licin dan mudah disambung. Lalu dibungkus dengan karung goni. Sebelumnya, kulit kayu itu dibilas hingga bersih dari kotoran yang menempel.
Setelah proses Nonohu yang biasanya memakan waktu 1 x 24 jam, barulah kulit kayu tadi ditumbuk lagi dengan Ike di atas Tatua sampai benar-benar halus. Proses ini dinamakan Nontutu. Di sini proses penyambungan lembaran-lembaran kulit kayu dilakukan. Sampai menjadi kain sesuai ukuran yang diinginkan.
Setelah proses Nontutu selesai ada satu tahapan lagi yakni Nompao. Kulit kayu yang sudah berubah ujud menjadi kain tadi disetrika dengan kayu. Supaya lebih halus lagi. Setelah itu barulah dikering anginkan.
Nah, jadilah selembar kain kulit kayu. Dalam seminggu, paling banyak dua lembar kain kulit kayu seukuran 1 x 2 meter yang dihasilkan per orang.
“Namun, karena sudah renta, paling banyak hanya empat lembar Ivo yang dihasilkan Nenek ini setiap bulannya,” tutur Asmidar (23), cucu kedua nenek ini, yang tekun mempelajari tradisi leluhurnya ini.
Oh iya, bahasa yang mereka gunakan menjelaskan proses pembuatan kain kulit kayu ini adalah bahasa ibu masyarakat setempat. Namanya Ado. Itu adalah rumpun bahasa suku Kaili, suku asli Sulawesi Tengah.
Lalu, soal Ike. Itu ada tingkatannya. Biasanya ada tiga. Ike dibuat dari batu pualam atau granit dengan ukuran 2 x 4 x 7 centimeter. Batu Ike diikat dengan anyaman rotan. Lalu dibuat beralur. Ike pertama alurnya lebih renggang untuk meratakan kulit kayu. Lalu Ike kedua alurnya mulai menyempit, untuk menghaluskan kain. Dan kemudian Ike ketiga yang alurnya lebih rapat dan beragam. Ada horisontal, vertikal dan diagonal. Ini untuk menghaluskan lagi dan membuat tekstur pada kain kulit kayu.
Membangun Ekonomi Warga
Sekarang, kain kulit kayu sudah selesai dibuat. Ke mana hendak di jual? Berapa pula harganya?
“Biasanya ada orang dari Palu yang membeli, mereka bilang dikirim ke Bali dan Kalimantan . Ada juga dibeli orang dari Amerika. Sekarang yang ukuran dua meter dibeli dua ratus ribu,” kata Asmidar.
Yang disebut oleh Asmidar adalah para penggiat Yayasan Jambata, salah satu organisasi nonpemerintah yang bervisi lingkungan hidup dan penguatan ekonomi rakyat di Palu, Sulawesi Tengah. Selama ini, mereka yang kembali mendorong pusat-pusat kerajinan kain kulit kayu di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu untuk terus berproduksi.
Jambata kali pertama berhasil menjual kerajinan kulit kayu ke pasaran internasional pada 1999 silam. Tercatat dua perusahaan dari Amerika Serikat menjadi pelanggan tetap mereka. Waktu itu Graphic Product Corporation, sebuah perusahaan yang beralamat di Illionis, Amerika Serikat memesan 600 lembar kain kulit kayu dengan nilai US $ 1.440. Lalu menyusul Blank Ink Incorporation asalam Columbia , AS yang memesan 1.100 lembar dengan nilai US $ 1.055. Setiap lembarnya berukuran 65 x 95 centimeter. Untuk pasaran lokal ketika itu, per lembar masih dihargai Rp 11 ribu-Rp 15 ribu.
Sayangnya dua tahun kemudian, pesanan dari dua pembeli asing tadi terhenti. Itu lantaran perajin tak mampu memenuhi target kebutuhan kedua perusahaan tadi. “Kita susah juga untuk memaksa para perajin membuat sebanyak-banyak kain kulit kayu. Karena ini adalah pekerjaan musiman,” aku Sadik, salah seorang penggiat di Jambata.
Sekarang, mereka tinggal berharap pada pasar di Bali dan Kalimantan . Di sana , produk kain kulit kayu ini dijadikan handycraft, semisal kanvas dan bahan lampu hias.
Sadik mengakui kurangnya promosi keluar membuat produk yang ramah lingkungan ini menjadi tidak begitu terkenal. Padahal, produk ini mudah terurai oleh mikorba tanah bila dijadikan kemasan. Mereka berharap tahun ini, pembeli dari luar juga akan datang. “Kami akan mengupayakan promosi yang lebih gencar lagi untuk memasarkan produk kerajinan rakyat itu,” kata dia.
Di Palu, Yayasan ini juga berusaha mengayakan ragam produk dengan bahan dasar kain kulit kayu. Ada rompi, tempat ballpoint, cup lampu kamar, sampul buku, pigura dan beragam pernak-pernik lainnya. Mereka sudah memamerkannya di Jakarta dan Bali .
Jambata tidak hanya berusaha menggiatkan kembali usaha kerajinan ini, tapi juga mengajarkan warga bagaimana membudidayakan Bea, salah satu jenis pohon yang kulitnya dipakai membuat kain ini.
Mewariskan Tradisi
“Insya Allah, anak-anak saya bisa membuat kain kulit kayu ini,” harap Rangimpuasa. Karenanya, ia selalu menyertakan anak atau cucunya saat membuat kain kulit kayu. Usianya yang sudah uzur, tidak mengkhawatirkannya, karena sudah ada yang mewarisi tradisi ini.
“Saya belajar dari masih SMP. Sekarang Insya Allah sudah tahu, cuma kalau mencari kayunya minta tolong sama orang saja, karena kayunya sudah jauh dalam hutan,” kata Asmidar, cucu Rangimpuasa.
JPH Taro, juga berharap tradisi ini tetap lestari. “Sayang jika kekayaan budaya kita hilang ditelan zaman. Meski kita harus akui, kadang kita tidak mampu bertahan lagi, tapi itu tetap harus kita upayakan,” kata Taro.
Sesepuh adat Kulawi ini mengisahkan bahwa pada 1992, Azis Lamadjido, Gubernur Sulawesi Tengah ketika itu mempunyai cara unik mempertahankan tradisi ini. “Dia meminta orang membuat kain kulit kayu, lalu ditukarnya dengan kain belacu atau kain lainnya buat baju. Katanya itu agar tradisi ini tetap terpelihara. Namun setelah dia tidak menjabat, sudah tidak ada lagi pejabat yang begitu,” sebutnya.
“Dunia boleh makin modern, tapi tradisi, adat istiadat harus terus dilestarikan. Kalau bukan oleh kita, oleh siapa lagi,” tekan Taro.
Jadi, akankah tradisi ini dapat lestari? Kita harus menjawabnya dengan optimis. Meski tahu, industri tekstil kita kini sudah pada tahapan sintetik. Semuanya serba kimiawi. Meski tahu produk-produk kimiawi sulit terurai jika sudah menjadi sampah.
Sekarang tinggal kita pilih melestarikan produk ramah lingkungan itu atau terus membebani bumi dengan sampah-sampah kimiawi? Tentu saja kita akan memilih jalan yang paling bijak.

Petambuli, Membuat Adat Tak Mati Suri

Oleh Jafar G Bua
ADA berbagai cara melestarikan tradisi dan adat istiadat kita yang begitu kaya. Salah satunya melalui upacara penikahan. Itulah yang dilakukan keturunan Kerajaan Sigi, di Sulawesi Tengah. Mereka memboyong tanda-tanda kebesaran kerajaan yang pernah jaya itu ke Tolitoli, Sulawesi Tengah, saat pernikahan salah seorang putra keturunan pewaris Kerajaan yang berdiri pada 1650 itu. Ritual penikahan ini adalah perkawinan budaya asli Sigi dengan syariat Islam. Ada adat petambuli sebagai intinya.
Upacara pernikahan a la keturunan Raja Sigi ini tergolong unik. Selain harus menyiapkan sejumlah tanda-tanda kebesaran raja seperti ula-ula, orang-orangan dari kain yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Sang calon mempelai pria juga harus mengenakan pakaian kebesaran raja dan mengunakan siga, penutup kepala khas Kaili, suku terbesar di Sulawesi Tengah. Calon mempelai pria juga diwajibkan menunganggi seekor kuda menuju kediaman calon mempelai wanita. Maklum, Edy Supratman, demikian nama sang calon mempelai pria adalah keturunan pewaris kerajaan Sigi.
Sejumlah tetua adat dan keluarga dekat calon mempelai pria juga mengunakan pakaian berwarna kuning yang merupakan pakaian kebesaran kerajaan Sigi.
Sang calon mempelai pria sepanjang jalan dikawal oleh dua orang Tadulako, pengawal raja dan seorang panglima agar dalam perjalanan menuju rumah mempelai wanita tidak mendapat hambatan dari musuh.
Para Tadulako bertopi tanduk kerbau itu, dipersenjatai dengan guma atau golok perang, tavala atau tombak dengan kaliavo atau tameng. Sepanjang jalan tepukan rebana mengiringi rombongan dari calon mempelai pria. Terasa besar pengaruh Islam atas kerajaan Sigi tempo dulu.
Sepanjang jalan para Tadulako memperlihatkan keahliannya memainkan guma dan tavala. Itu agar tidak ada yang berani menggangu perjalanan sang mempelai pria.
Nah, setibanya di rumah calon mempelai wanita rombongan pasukan dari calon mempelai pria disambut dengan dua orang prajurit utusan dari calon mempelai wanita.
Disini utusan prajurit dari mempelai wanita sempat melancarkan serangan dengan golok dan ditangkis oleh sang panglima dengan tombak sebelum memasuki halaman rumah calon mempelai wanita.
Sebelum, memasuki pintu rumah calon mempelai wanita digelarlah adat petambuli, upacara penghormatan bagi calon mempelai wanita dan keluarganya. Inilah inti prosesi adat itu. Petambuli dimpimpin dua orang tetua adat dengan mengunakan bahasa Kaili, bahasa ibu suku terbesar di Sulawesi Tengah. Selanjutnya, sang calon mempelai pria Edi Supratman dan calon mempelai wanita Sitti Maryam dinikahkan sesuai dengan syariat Islam.
Menurut salah seorang tokoh adat, Lassa ritual adat semacam ini dulunya selalu digelar oleh para bangsawan kerajaan Sigi. Kemudian pupus dan tidak lagi pernah digelar karena orang yang ingin semuanya serba praktis dan langsung jadi.
Dipercaya juga pelaksanaan adat pernikahan ini bertujuan memohon bagi sang pencipta alam semesta agar kedua mempelai diberikan keturunan yang baik serta rezeki yang melimpah.
“Jadi penghormatannya dimulai dari teras rumah pria, di jalan dan hingga ke teras rumah wanita. Filosofinya adalah manusia hidup itu harus saling menghormati. Dan semuanya harus berawal dari rumah tangga hinga ke kehidupan mereka sehari-hari, saat bergaul dengan orang lain di lingkungannya.
Diharapkan pelaksanaan ritual ini bisa melestarikan adat istiadat yang dulunya masyhur dan melembaga di Sulawesi Tengah berbilang ribuan tahun lamanya sejak abad 17. Meminjam harapan Lassa, agar adat tidak mati suri.

Tanjung Karang, Pantai Pasir Putih dan Terumbu Karang

Oleh Jafar G Bua
KOTA Donggala, Sulawesi Tengah menyajikan banyak tawaran pelesiran. Salah satunya menonton para penenun Buya Sabe,atau sarung Donggala. Lalu, menikmati pasir putih Tanjung Karang dan menyicipi Kaledo, makanan khasnya. Hari ini, kita akan menuju Tanjung Karang. Menikmati indah pantai pasir putihnya, atau terumbu karangnya.
Mata kita langsung tertumbuk pada pasir putih yang menghiasi bibir pantainya. Dari atas jalanan di bukit Donggala, terlihat jelas hamparannya, juga kumpulan kapal niaga dan perahu nelayan di Pelabuhan Donggala.
Indah dan luar biasa! Itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkannya.
Sekitar 20 tahun silam, Pantai Tanjung Karang ini hanya dikenal sebagai tempat istirahat sementara para nelayan setelah lelah melaut.
Saat itu, belum ada jalan masuk ke Pantai Tanjung Karang, padahal hamparan pasir putih di pantai itu sungguh indah. Perkebunan kelapa milik masyarakat juga tumbuh subur di sekitar pantai ini.
Tapi sekarang, Pantai Tanjung Karang sudah berubah menjadi objek wisata favorit bagi warga Palu dan sekitarnya. Di musim libur, pantai ini dipadati wisatawan lokal, bahkan turis mancanegara. Rata-rata berasal dari Eropa.
Agus, salah seorang petugas di pintu masuk Tanjung Karang, mencatat setiap hari libur, sedikitnya 200 kendaraan roda empat dan dua masuk-keluar di objek wisata Tanjung Karang ini. Bahkan angka ini meningkat pesat setelah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mencanangkan lima hari kerja sejak pertengahan April 2007 lalu.Untuk setiap pengunjung dikenai biaya hanya Rp 1000.
“Pengunjung pada Sabtu, Minggu, dan hari libur, paling banyak. Ratusan orang biasanya,” kata Agus.
Untuk memberikan pelayanan bagi para wisatawan, yang umumnya wisatawan keluarga, penduduk setempat membangun dan menyewakan puluhan penginapan sederhana, yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia.
Tarifnya relatif murah, antara Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu semalam untuk masing-masing cottage yang memiliki satu kamar tidur, satu ruang terbuka sebagai teras, dan satu kamar mandi. Tarif ini tidak termasuk makan dan minum.
Menu yang disajikan para pengelolanya beraneka ragam, namun umumnya berupa makanan laut, seperti ikan bakar, cumi-cumi goreng, dan lobster rebus.
Ada juga kopi panas, teh, dan sarabba (minuman khas terbuat dari jahe dan gula aren yang direbus serta diberi susu kental), serta pisang goreng panas.
Pengunjung juga dapat menikmati makanan, minuman, dan penganan lainnya di cafe-cafe sederhana di area penginapan dan sepanjang bibir pantai Tanjung Karang.
Di Tanjung Karang, ada pula sebuah cottage milik Pieter, seorang warga Jerman yang beristrikan seorang perempuan asal Sulawesi Utara. Ia menamai kawasan cottagenya dengan Prince John Dive Resort. Cottage yang dikelilingi pagar kayu dan tembok dengan luas halaman sekitar 60 x 50 meter tersebut dilengkapi berbagai fasilitas memadai, seperti café dan lapangan voly pantai.
Pemilik cottage ini juga melengkapinya dengan kapal pesiar dan peralatan diving serta snorkeling, yang memang diminati wisatawan mancanegara.
“Wisatawan yang datang rata-rata berasal dari Jerman, Australia dan Austria. Mereka sangat suka menyelam,” kata Junaidi Kariso, Manager Public Relation di Prince John Dive Resort.
Nah, jika ingin bersnorkeling, cukup merogoh kocek Rp 10 ribu. Snorkel bisa kita sewa pula pada penduduk setempat. Harga itu tidak dipatok per jam, tapi per hari. Murah, bukan?!
Jika ingin menyelam kita bisa menyewa scuba diving milik Prince John Dive Resort. Biayanya € 26. Itu sekitar dengan Rp 338 ribu. Pengelolanya memang memakai kurs Euro, karena wisatawannya rata-rata dari Eropa.
Kalau beruntung bisa mendapatkan scuba diving dari penduduk lokal seharga Rp 100 ribu.
Kalau kemahalan cukup snorkeling saja. Tuwo, perempuan penduduk lokal berusia 40 tahun menyewakan snorkelnya Rp 10 ribu per hari.
Mau snorkeling? Yuk! Wow, ternyata memang luar biasa indah. Hanya selangkah dari bibir pantai dan masih dari atas permukaan kita sudah dapat menikmati indahnya terumbu karang dan ikan hias yang menari-nari di atas dan di sela-sela karang.
“Di sini asyik sekali. Ada karang warna-warni dan ikan yang cantik-cantik,” tutur Muhammad Nizam, anak berusia 9 tahun yang dipandu ibunya bersnorkeling.
Bagi wisatawan asal Jerman, Hillmart, ia memilih Tanjung Karang lantaran belum tertalu ramai dan masih alami. “Di sini sangat tenang, belum banyak orang. Jadi saya pilih di sini melewatkan akhir pekan,” kata dia.
Rasa-rasanya setelah puas bermain-main di Tanjung Karang, sekarang waktunya makan. Tentu saja, menunya adalah Kaledo atau biasa orang menyebutkan kaki lembu Donggala. Ya, karena memang bahan utamanya adalah kaki lembu. Apa itu Kaledo, besok kita akan berkisah lagi

Buya Sabe, Kisah Balida dan Benang Sutra

Oleh Jafar G Bua

KOTA Donggala, Sulawesi Tengah menyajikan banyak tawaran pelesiran. Salah satunya menonton para penenun Buya Sabe,atau sarung Donggala. Lalu, menikmati pasir putih Tanjung Karang dan menyicipi Kaledo, makanan khasnya. Hari ini, perjalanan akan kita mulai dari desa para penenun Buya.Pagi baru merekah, masih tersisa langit yang memerah saga di ufuk timur. Mentari tentu dinikmati dari pesisir laut Teluk Palu atau dari ujung teluk, tepatnya di Kota Donggala.
Bila Anda belum pernah mendengar namanya, bolehlah membaca buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka, ulama dan budayawan kesohor di masanya. Atau bacalah Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Di kedua buku itu, nama Donggala disebut sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan Mancanegara. Ya Donggala identik dengan pelabuhan lautnya.
Kota tua ini pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda. Pelabuhannya dijadikan Belanda menjadi pelabuhan niaga dan penumpang. Tidak heran masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini.
Dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah perjalanan menuju Donggala bisa ditempuh tidak lebih dari satu jam. Jaraknya hanya 40 kilometer. Pilihan kendaraannya terserah kita.
Jika ada wisatawan yang mau datang dari Jakarta, bisa dengan pesawat Lion Air, Wings Air, Sriwijaya Air atau Merpati selama dua jam. Lalu transit di Makassar atau Balikpapan, dan 55 menit kemudian akan tiba di Bandara Mutiara Palu. Diteruskan lagi dengan menumpang mobil kijang dari Bandara Mutiara Palu dengan tarif Rp100 ribu hingga Rp150 ribu dengan lama perjalanan antara 30 menit hingga 45 menit.
Lalu hendak ke mana kita di sana? Tenang saja, tawarannya, mau ke pantai pasir putih Tanjung Karang dulu atau menonton para penenun di Banawa Tengah atau Banawa Selatan atau menikmati makanan khas Kaledo?
Rasa-rasanya kita boleh memulai perjalanan dari Banawa Tengah. Jaraknya hanya 2 kilometer arah barat Kota Donggala. Di sana kita akan menyaksikan tangan lincah para remaja dan orang tua memainkan balida di alat tenun tradisional pembuat Buya Sabe.
Buya Sabe
Dari jauh bunyi hentakan balida yang bertemu dengan pasak alat tenun tradisional sudah terdengar bunyinya. Itu tandanya kita sudah dekat dengan Desa Limboro, Kecamatan Banawa Tengah, Donggala. Balida itu, sebuah kayu panjang yang menjadi pemberat di tengah lipatan kain tenun saat penenun memasukkan benang-benang. Biasanya terbuat dari kayu ulin atau ebony.
Selama ini orang hanya mengenal kain tenun Songket dari Palembang atau Ulos dari Sumatera Utara. Padahal, di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pun ada sarung tenun yang sangat terkenal. Namanya Buya Sabe, yang bahan bakunya benang sutra.
Salah satu pusat Buya Sabe berada di Desa Limboro. Di sana tak kurang 100 penenun setiap hari bekerja. Yang menarik, tidak cuma para perempuan paruh baya berusia 50 – 60 tahun yang menjadi penenun, tapi juga pada gadis remaja berusia 12-20 tahun. Itulah yang menyebabkan tradisi tenun Buya Sabe ini terus terlestarikan. Ia tidak lekang dimakan zaman.
Biasanya mereka bekerja sejak pukul 09.00 – 12.00. Lalu diteruskan lagi pukul 13.00 – 17.00. Ada pula yang menenun di malam hari mulai pukul 19.00 – 22.00.
Bagi ibu rumah tangga, mereka menyelesaikan dulu urusan masak-memasak dan mengatur rumah. lalu kemudian menenun. Sementara bagi gadis remaja, ada yang pergi ke sekolah, ada pula yang membantu orang tuanya.
Untuk setiap satu helai Buya Sabe mereka dibayar Rp 150 ribu. Meski tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka tetap tekun menenun dan tentu saja melestarikan tradisi.
Rata-rata masyarakat Limboro adalah petani, tapi ada pula satu dua yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Karenanya, bertani dan menenun tentu saja adalah sumber mata pencaharian mereka yang utama.
Pembuatan tenun Buya Sabe ini, hampir sama dengan pembuatan tenun-tenun yang ada di daerah lain. Baik dari proses pewarnaan benang hingga penenunan.
Coraknya beragam. Antara lain, kain palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sabe. Dari sekian corak tersebut, buya bomba yang paling sulit, hingga membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Berbeda dengan corak lainnya yang hanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu saja.
“Untuk Buya Bomba, kami mengerjakannya dengan sangat hati-hati. Karena corak yang akan dihasilkan sangat banyak. Biasanya pembuatannya sampai dua minggu atau sebulan. Biasa ada yang bilang corak bunga mawar,” kata Habona, perempuan penenun di Limboro yang berusia 56 tahun.
Kalsum, seorang gadis remaja berusia 21 tahun, juga berkata senada. “Susah juga awalnya, setelah terbiasa kita jadi menikmatinya,” aku Kalsum yang belajar menenun dari ibunya.
Tenun Buya Sabe bisa ditemukan di sepanjang Limboro, Salu Bomba, Tosale, Towale dan Kolakola. Desa-desa itu berada di sebelah barat Kota Donggala.
Selain pewarisan turun temurun, tenun Buya Sabe juga dilindungi dengan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Kabupaten Donggala. Bahkan di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, setiap Sabtu, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan memakai batik yang terbuat dari Buya Sabe.
“Perda itu untuk menjaga agar tenun Donggala itu bisa lestari dan tidak diduplikasi oleh pihak lain,’’ kata Habir Ponulele, Bupati Donggala.
Harganya tergantung coraknya. Harga termurah mencapai Rp 300 ribu dan paling mahal seharga Rp 650 ribu.
Nah, sudah puaskan menonton para penenun di Limboro, hari ini?! Besok, kita akan menuju Tanjung Karang. Jaraknya dari Limboro tinggal 3 kilometer. ***

Kaledo dan Singkong Rebus

Oleh Jafar G Bua

ADA anekdot dari Jamrin Abubakar, seorang kawan jurnalis cum penyair, katanya, suatu waktu ada pemotongan lembu. Lalu orang Jawa, orang Makassar dan orang Donggala bergiliran mengambil dagingnya. Orang Jawa yang pertama mengambil semua daging lembu, mereka lalu membuat bakso. Lalu yang kedua adalah orang Makassar yang mengambil jeroannya dan kemudian membuat Coto Makassar. Tertinggalah tulang-tulang dan sedikit dagingnya, maka jadilah Kaledo.
Jika ditilik dari harga; Meski cuma tulang-tulang kaki lembu, harganya lebih tinggi. Coba bandingkan dengan Coto Makassar yang bisa dicicipi dengan harga Rp10 ribu atau Bakso yang masih bisa didapat dengan harga Rp9 ribu.
Menurut Hajjah Rahma, yang sejak 1970-an berjualan Kaledo, tidak ada makanan seperti ini di daerah lain di Indonesia.
“Ini beda dengan sup daging atau coto Makassar atau Sop Konro. Ini memang pakai kaki lembu utuh,” kata Hajjah Rahma yang membuka warung Kaledo Abadi di Jalan Diponegoro, Palu Barat.
Kaledo terbuat dari tulang kaki lembu dan dagingnya, dicampur asam Jawa mentah, dengan bumbu cabe rawit, garam dan jeruk nipis. Setelah masak Kaledo seperti sup dengan kaki lembu dan sedikit daging. Jika kurang pedas, kita bisa menambahnya dengan sambal cabe rawit. Agar terasa wangi, bolehlah ditambahkan bawang goreng.
Dalam sehari Hajjah Rahmah menghabiskan 10 kaki lembu, 5 kilogram tulang leher dan 5 kilo daging. Harganya dijual Rp 25 ribu per porsinya.
Mau tahu cara memasaknya? Coba diperhatikan. Awalnya tentu saja daging dan tulang kaki lembu dibersihkan. Lalu jerang air hingga mendidih, setelah itu masukkan daging dan tulang sapi, masak hingga empuk. Lalu buang air rebusan daging dan kaki sapi tadi agar lemaknya tidak bercampur dan jerang lagi air sampai mendidih, lalu daging dan kaki lembu tadi dimasukkan ke jerangan air yang baru itu. Kemudian masukkan garam, cabe rawit hijau, penyedap rasa dan asam jawa. Setelah dagingnya tanak, sajikan panas-panas.
Kaledo bisa dinikmati bersama dengan nasi putih, singkong rebus atau jagung rebus. Tinggal pilih, sesuai selera.
Ada banyak warung Kaledo di sepanjang perjalanan dari Palu ke Donggala. Memang tidak semua warung menyediakan makanan ini, karena penjual Kaledo tidak mau mencampurnya dengan makanan lain.
Dari arah Palu kita bisa menemukan warung Kaledo Abadi di Jalan Diponegoro, lalu warung Kaledo Stereo di depan Pantai Taman Ria. Lalu warung Kaledo Megaria di poros Jalan Palu-Donggala di Tumbelaka. Mendekati Kota Donggala, kita akan menemukan warung Kaledo Lolioge, ini dia yang Kaledonya paling yummi. Setidaknya begitu pengakuan banyak penggemarnya.
“Kalau saya rasakan, Kaledo di Lolioge itulah yang paling enak. Rasanya nikmat dan tidak ada lemak yang menempel di dagingnya,” aku Junaidi Kariso, Manager Public Relation Prince John Dive Resort, di Tanjung Karang, Donggala.
Kapan-kapan jika ada waktu berkunjunglah ke Donggala, menikmati kaki lembu Donggala itu.***

Ikan Bakar Rica-rica

Oleh Jafar G Bua

PARUH Februari 2009 lalu saya mengunjungi Togian, sepotong surga di garis Khatulistiwa. Sempat singgah semalam di Ampana, Tojo Unauna, Sulawesi Tengah, setelah melewati perjalanan darat yang melelahkan dari Palu, melalui Parigi Moutong sampai ke Poso. Saya sempat menikmati lezatnya ikan bakar rica-rica dengan kangkung cah di Ampana.Jadi, saya belum akan berkisah tentang betapa eloknya Togian dengan gugusan pulau-pulau karang, indah pasir putihnya atau mencengangkannya menikmati mentari terbenam dari pulau di pusat Teluk Tomini itu. Saya akan berkisah dulu tentang ikan bakar rica-rica dan kangkung cah itu.
Soal ikan bakar rica-rica ini memang perlulah diceritakan sendiri. Paling enak membuat penganan ini dari ikan karang, semisal ikan Kerapu atau ikan Merah. Bisa pula ikan Katombo atau Tuna kecil. Setelah dibersihkan sisiknya, dibaluri garam secukupnya dan beri perasan jeruk nipis. Baru setelah itu dibakar.
Ibu Tina atau Pak Abdullah, pasangan suami istri yang mempunyai warung yang menyediakan ikar bakar rica-rica mengatakan bahwa mereka hanya menjual ikan yang benar-benar segar.
Saya sudah membuktikan hal itu, ketika singgah di Ampana dalam perjalanan menuju Togian. Ikannya benar-benar segar, sampai-sampai harus memesan lagi saking nikmatnya.
Harga per porsinya hany Rp 20 ribu. Jika dibeli per kilogram hanya Rp 15 ribu. Bandingkan dengan di Muara Angke, Jakarta Utara.
Nah, ikan bakar rica-rica dibakar di atas bara kayu, jadi terasa aromanya. Sesekali selama di atas panggangan dibaluri minyak kelapa kampung agar aromanya makin sedap.
Paling enak jika memilih ikan karang bagian kepalanya, karena bisa mengisap otaknya atau cairan di matanya. Bisa disajikan pula dengan kangkung cah dan sayuran lainnya.
Kalau tidak suka pedas, tenang saja, rica-ricanya dipisahkan. Jadi untuk merasakan sensasi rica-ricanya bisa sesekali dicolekkan ke rica-rica di piring pinggan.
Rica-ricanya terbuat dari rica atau cabe rawit masak, ditambah irisan tomat, bawang merah, lalu diberi minyak kelapa kampung dan perasan jeruk nipis. Mmmm, rasanya menggigit lidah. Anda harus mencobanya.
Jadi, mulai sekarang, bolehlah atur jadwal kunjungan Anda ke Togian, sepotong surga di Katulistiwa dan menikmati ikan bakar rica-rica ditambah kangkung cahnya.***

Labia Dange Tamadue

Oleh Jafar G Bua

ANDA tahu labia? Bisa jadi, iya. Bisa jadi pula, tidak. Nah, itu adalah sebutan masyarakat Parigi, Sulawesi Tengah untuk sagu. Mereka memakai dialek sub etnik Tara, salah satu rumpun Suku Kaili. Jika diimbuhi dengan dange. Itu artinya sagu panggang.
Rasanya? Tidak perlu ditanya. Langsung saja dicicipi. Lalu kita tinggal pilih saja variasinya. Mau labia dange isi ikan teri, labia dange rono atau labia dange isi durian, labia dange tamadue, terserah Anda. Ada pula labia dange isi gula aren, labia dange gola vaga. Untuk mudahnya, masyarakat setempat mengenalnya sebagai palapa. Tetap disebut labia dange jika tidak dicampurkan bahan-bahan lain.
Bagaimana cara membuatnya, ya? Mimi Zaerinah, ibu rumah tangga yang membuat labia dange atau palapa ini, mengaku gampang-gampang susah.
Yang pertama, siapkan sagu secukupnya, ikan teri, durian atau gula jawa, tergantung pilihan dan selera kita. Jangan lupa, parutan kelapa yang akan dicampur dengan sagu. Nantinya setelah dipilih salah satu bahan isi, kita kemudian bisa mencampur sagu dengan parutan kelapa. Lalu kita memanggangnya di atas tembikar berbentuk setengah bulatan. Agar matangnya merata, tembikarnya dipanaskan dulu di atas kompor atau tungku.
Nah, tunggu kira-kira 5 menit, lapisan pertama yang dibuat tipis saja sudah matang. Lalu kita pilih saja, mau pakai isi rono, tamadue atau gola vaga. Sebar merata di atas lapis pertama yang sudah matang tadi, lalu dilapisi lagi dengan sagu. Tunggu lagi sekira 5 menit, dan labia dange sudah siap dinikmati.
“Yang biasa kita cuma mengenal labia dange biasa, tapi ini kita kasih jadi palapa, dicampur dengan bahan-bahan lain sesuai selera,” kata Mimi.
Ndali Sahibu, Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata mengatakan bahwa labia dange buatan Mimi punya ciri khas.
“Selama ini saya makan labia dange biasa. Tapi yang ini dicampur dengan rono, gula merah dan durian. Rasanya enak betul,” aku Ndali.
Kalau Anda penasaran, coba saja resep itu di rumah atau berkunjunglah ke Parigi. Lalu meminta Ibu Mimi membuatkannya.

Beko, Kuliner Khas Lembah Megalit

oleh Jafar G Bua
WILAYAH nusantara menyimpan banyak kekayaan kuliner yang khas dan unik. Kali ini, kita akan menyicipi Beko, kuliner khas di Lembah Besoa. Kuliner khas terbuat dari pisang sepatu muda yang dimasak dengan daging sapi.
Bahan-bahan untuk membuat Beko sangat sederhana. Ada pisang sepatu muda ditambah bumbu daun sereh, kemangi, daun jeruk, garam dan cabe rawit hijau yang ditumbuk halus lalu daging sapi.
Mula-mula daging sapi diiris dadu, seperti membuat sate. Sementara itu air dengan ukuran secukupnya sudah didihkan di atas wajan. Setelah mendidih barulah dimasukkan daging sapi tadi. Lalu pisang sepatu yang masih muda tadi diiris kecil-kecil.

Setelah air mendidih daging sapi dimasukkan, lalu setelah daging dirasa sudah setengah matang seluruh bumbunya dimasukkan mulai dari cabe rawit, batang sereh yang sudah dimemarkan, daun jeruk, lalu kemangi.
Tunggu beberapa menit kemudian, beko sudah masak. Siap untuk dihidangkang. Aroma daun jeruk, sereh dan kemangi bercampur menjadikan beko wangi.
Subarkah, salah seorang warga dari Palu, Sulawesi Tengah yang datang menelusuri jalur trekking di lembah Besoa mengaku masakan ini enak.
“Memang enak. Asli. Benar-benar pedas rasanya. Dan makin enak karena ada pisangnya,” aku Subarkah.
Elisabeth Poba’a (40), warga Besoa, yang biasa memasak beko pada saat pesta perkawinan mengaku makanan ini tidak ada di daerah lain. Makanan ini memang khas daerah setempat.
“Ini memang saya rasa tidak ada di daerah lain. Ini bisa langsung di makan dengan pisang, bisa juga dengan nasi. Tergantung selera,” kata Elisabeth.
Jika suatu saat anda ke Lembah Besoa, sempatkanlah menyicipi makanan ini. Asal tahu saja, makanan ini hanya ada saat pesta perkawina atau hajatan besar lainnya. Tapi jika penasaran menyicipinya, mintalah tolong pada warga setempat untuk membuatkannya

Tari Perang Penyambut Tamu

Oleh Jafar G Bua

MASYARAKAT Suku Lauje, di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, mempunyai tradisi unik dalam menerima tamu atau pembesar yang baru berkunjung ke daerahnya. Mereka akan menyambutnya dengan tarian perang yang dimainkan oleh empat lelaki yang menggunakan guma atau parang panjang, serta dua orang yang bertombak. Penyambutan itu juga diiringi musik yang terdiri dari susulan balok kayu, gendang dan gong besar.Sabtu (19/04/2008) lalu, empat orang lelaki menggunakan guma dan dua lelaki lainnya menggunakan tombak terlihat berhadapan dengan sejumlah tamu. Di antara tamu itu terlihat Bupati Parigi Moutong LOngki Djanggola dan Camat Palasa Darwis Rahmatu. Mereka lalu berteriak dan berlaga dengan sesama mereka di depan para tamu penting itu. Jangan salah kira, mereka bukan hendak saling membunuh. Mereka ternyata sedang menyambut tamu-tamunya itu.
Tradisi tarian perang ini, biasanya disebut Meaju. Lazim ditarikan kala menerima tamu atau pembesar, semisal Presiden, Menteri, Gubernur atau Bupati, serta tamu-tamu lainnya.
Para tamu-tamu yang datang akan diarak menuju Pogombo Ada atau balai pertemuan adat. Sebelumnya, para tamu itu dihamburkan beras kuning, sebagai bentuk penghormatan. Lalu para tamu harus menginjak dulang dari kuningan yang berisi tanaman tertentu. Maknanya, di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung, di mana kita bermukim, sudah seharusnya adatyan pun kita hormati.
Sementara arakan itu berlangsung, tiga orang anggota komunitas Suku Lauje memainkan alat musik yang terdiri dari Tadako, kulintang, Gimbale atau gendang dan Gong besar.
Jika Anda tertarik, sekali-kali, berkunjunglah ke Palasa, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Jaraknya sekitar 200 kilometer dari Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah

Menyesap Udara Sejuknya, Menyicipi Lezatnya Beko

Oleh Jafar G Bua

Taman Nasional Lore Lindu memang menawan. Tak Cuma menawarkan keindahan alamnya, tapi juga membawa kita mengembara ke zaman batu dan juga nikmatnya kuliner tradisional. Ini pilihan tujuan berakhir pekan yang menarik.

KABUT masih menggantung di atas Danau Tambing. Jalan setapak yang membelah salah satu kawasan Taman Nasional ini masih basah. Sebab embun belum lagi pergi dari dedaunan. Tapi sepagi itu sekawanan burung Walet Pasifik (Collocalia esculenta) sudah bermain di atas danau yang berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut ini. Mereka menukik lalu mematuk serangga yang bermain di atas air danau. Indah. Mengesankan. Apalagi kicau burung Sikatan Dahi Biru (Cyornis hoevelli) meningkahi irama alam bak orkestra paripurna.

Ya, perjalanan kali ini memang kita mulai dari Danau Tambing. Jaraknya sekitar 55 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Dapat ditempuh dengan kendaraan umum dan juga kendaraan pribadi. Lalu, dari tepi jalan poros Palu-Napu hanya sekitar 300 meter ditempuh melalui jalan setapak. Penduduk setempat menamainya Kalimpa'a.

Danau ini juga menjadi ladang pencaharian warga setempat. Mereka, para nelayan rimba mengail dan menjala ikan mujair dan juga belut di danau ini. Yang menarik kawasan ini salah satu titik bird watching atau pengamatan burung yang disukai oleh para peneliti dan tentu wisatawan. Ada sekitar 263 jenis
burung bisa ditemukan. Sebanyak 30 persen di antaranya merupakan endemik, artinya tidak ditemukan di daerah lainnya. Di sini, kita bisa menemukan antara lain Nuri Sulawesi (Tanygnatus sumatrana), Kakatua (Cacatua sulphurea), Rangkong (Buceros rhinoceros dan Aceros cassidix) atau Pecuk ular (Anhinga rufa).

Menarik bukan. Anda mesti sesekali meluangkan waktu ke sini berakhir pekan. Meminjam kata-kata Idris Tinulele (37), pemandu wisata alam, menonton burung melatih kesabaran dan ketekunan kita.

"Sebab kita harus tenang dan tahan berlama-lama menunggu burung-burung itu keluar dari sarang dan bermain di pohon atau di atas danau," kata pemuda yang menamatkan pendidikannya sarjana Strata-1 dengan meneliti burung Maleo (Macrochepalon maleo) ini.

Kawasan Danau Tambing adalah bagian dari salah satu kawasan Taman Nasional di Indonesia. Taman Nasional ini luasnya sekitar 229.000 hektare. Terletak di wilayah Kabupaten Donggala, Sigi dan Poso. Taman Nasional Lore Lindu ditetapkannya sebagai Cagar Biosfir oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
mengurusi pendidikan, ilmu pengetahun dan budaya) pada tahun 1977.

Nah, setelah menyesap sejuknya udara di Danau Tambing, bolehlah kita mengembara ke zaman batu. Di zaman megalitikum di Lembah Besoa. Kita beranjak sekitar 1,5 jam ke arah selatan. Kita hendak menuju Lembah Besoa, Kecamatan Lore Utara. Di sana kita akan menjumpai Tadulako, pahlawan perang dari masa silam. Setelah lelah, kita akan menyicipi lezatnya Beko. Yuk!